...

Label

Rabu, 09 Januari 2008

SANG PANGERAN

“Sudah kukatakan aku bukan pangeran yang kalian cari!”
“Kalian pasti salah orang!”
“Aku cuma rakyat jelata yang sama sekali tak punya garis keturunan ningrat di darahku”
Kampret!. Sudah beberapa bulan ini aku ditawan.
“Tuan, ini makanan anda”. Seorang gadis berpakaian serba putih coba menawarkan kelezatan makanan duniawi kepadaku.
“Hai permaisuri, mau sampai kapan lagi sang raja hendak menawanku?”
“Saya tidak tahu tuan” jawab gadis itu dengan santun seraya meletakkan secangkir kopi panas dan sepiring nasi lengkap dengan lauk ikan bakar di hadapanku.
“Kalau benar aku putra mahkotanya, seharusnya sang raja membiarkanku bebas berkeliaran di kerajaan ini”, aku coba mencari jawaban atas kegelisahan yang belakangan ini membelengguku.
Gadis itu hanya terdiam. Tapi tak lama, senyum simpul mengembang di bibir tipisnya yang menambah ayu parasnya. Aku sama sekali tak mengerti apa yang dipikirkannya saat ini. Yang kutahu, aku sudah amat sangat merasa bosan dengan keadaanku sekarang ini.
“Hai permaisuri siapa namamu?”
“Saya Lastri Tuan”
“Sudah jangan sungkan padaku. Panggil saja aku Adi”
“Baik tuan Adi. Eh…Adi maksud saya”
“Nah, begitu kan lebih enak kedengarannya Lastri” aku coba sok akrab dengannya. Dan gadis itu tiba-tiba saja nyelonong pergi.
Aku tak tahu secara pasti sudah berapa lama aku terpuruk di kerajaan ini. Sebagai seorang yang mereka anggap pangeran, seharusnya aku punya kuasa untuk pergi kemana saja yang kumau, merasakan kenikmatan surgawi, dan bebas melakukan segala hal yang kukehendaki.
Tapi nyatanya tidak. Aku terkurung. Kuhabiskan seluruh hari-hariku di kamar pengap ini, kamar 3 x 4 dengan hiasan lumut-lumut dosa para penguasa, lengkap dengan bau anyir kehidupan para rakyat jelata. Kamar yang lebih layak dikata kandang daripada kamar seorang pangeran. Hal itu diperparah dengan para penjaga yang kasar dan sama sekali tak membiarkan ragaku bebas sekedar untuk menapak sejengkal tanah diluar kandang ini. Cuma dari jendela berbalut besi tua yang berjejer rapat di pojok tembok itu lah aku sedikit bisa merasakan kebebasan. Ya, anganku bebas berkeliaran kemanapun yang kumau lewat jendela berteralis besi itu. Tak lain karena ketidak sanggupan mereka mengurung imajinasiku. Tapi andai mereka sanggup, pastilah akan segera mereka lakukan.
Kalau benar sang raja menyayangiku maka seharusnyalah ia menemuiku. Apa salahku. Jika aku memang putranya lalu kenapa ia sama sekali tak pernah mau menampakkan batang hidungnya di depanku.
“Pengecut”, batinku.
Ataukah ia takut karena mungkin aku adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan ibuku?. Ah…tak tahulah aku.
Semua menjadi serba samar saat kau meninggalkanku Sri. Andai saja kau tak meninggalkanku dan pergi dengan pangeran dari negeri seberang, pastilah kita hidup bahagia kini, Sri. Dan aku tak perlu berada di tempat memuakkan seperti ini.
Aku tak peduli walaupun hidup saat ini seolah mencekik leher kita.Dan meskipun hidup ini selalu kita isi dengan berlari dari si penagih hutang, aku tetap akan menyayangimu Sri. Satu-satunya yang terpenting bagiku ialah aku dapat bersamamu. Kalau masalah anak, jika Tuhan sudah mempercayakannya pastilah kita segera diberi.
Tapi satu hal yang kusesalkan, Sri. Kenapa sifat kurang sabarmu masih kau bawa hingga kita naik kepelaminan.
Kau bilang akan selalu setia padaku. Tapi kenapa kau menghianatiku.
Kau bilang akan selalu menemaniku. Tapi kenapa kau tega meninggalkanku.
Kau bilang bla bla bla. Dan tak peduli lagi aku. Aku muak Sri dengan semua janji dan omong kosongmu.
Kini aku akan menjalani kehidupanku yang baru. Yang lebih baik tentunya. Apa kau kira aku sedang bermimpi disiang bolong?. Salah besar jika kau berpikir demikian. Kini aku dianggap seorang pangeran, Sri. Aku sama sekali tak tahu apa mereka sudah gila karena menganggapku sang pangeran.
Ayahku yang sebenarnya saja cuma seorang pemulung, begitu juga ibuku. Dunia memang sudah edan. Tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah?. Salah kaprah mungkin. Ya tepat sekali dunia sekarang ini memang sudah salah kaprah lan ndeladah.
Sudah tidak ada lagi keadilan yang ada hanya suapan. Sudah tidak ada lagi kebenaran yang ada hanya kemunafikan. Ini zaman matrealistis. Semua orang sudah buta akan harta, buta akan kuasa. Sudah tak ada lagi orang yang peduli akan tata krama , tolong menolong.dan sopan santun.
Hah… sopan santun. Aku agaknya tertarik dengan kata yang terakhir ini. Bagaimana tidak. Kemarin saja ketika aku memerintahkan salah seorang penjaga untuk mengambilkanku minum, dengan wajah tanpa dosa, ia malah membentakku. “Lho aku kan pangeran. Kok lancang sekali kau laku demikian!” Bentakku.
Aneh. Mungkin kerajaan ini sudah gila. Sekali lagi. Bagaimana tidak. Sang raja yang memaksaku jadi pangeran dan mengurungku di istana sama sekali tak mempedulikanku. Semua penjaga acuh kepadaku. Apa enaknya tinggal disini. Lebih enak bebas di luar. Tapi tidak juga. Mungkin aku akan mati kelaparan jika hidup di luar. Disini aku tinggal tidur tanpa harus membebani diriku dengan pekerjaan yang membuat otot seolah tercongkel keluar serta memecahkan urat nadi dan pastinya aku akan diberikan jatah pengganjal perut setiap hari.
Kurang apa aku. Ya… tentu saja kurang kebebasan. Namun apalah arti kebebasan kalau kita mandul dalam segala hal. Tak bisa apa-apa. Hanya bisa membuat sumpek dunia saja. Akan lebih bermanfaat memang jika para orang mandul tidak menampakkan diri pada dunia.
Sri.. Sri… apa kau tak kangen padaku. Tapi sorry Sri. Aku bukanlah lelaki murahan yang mau memaafkan wanita yang sudah menghianatiku. Kini aku sudah menemukan sosok penggantimu Sri. Tentu saja ia lebih cantik dan lebih sabar dari kau. Aku biasa memanggilnya permaisuri. Nama aslinya Lastri. Ayahandaku sang raja pastilah akan mengijinkanku mempersuntingnya. Memangnya siapa yang berani menolak titah raja, sang penguasa setiap jengkal tanah, air, bahkan udara di negeri ini.
Itulah satu-satunya kesibukan yang bisa aku lakukan di tempat ini. Berbicara dengan diri sendiri.
Terus terang saja selama disini aku cuma merindukan pagi dan sore hari. Tak lain karena saat itulah permaisuri Lastri biasa menyuguhkan makanan padaku. Sesekali kami juga sempat ngobrol panjang lebar. Tentang apa saja, sosok raja yang penuh wibawa, para pejabat kerajaan yang hanya mementingkan perut mereka sendiri, kekayaan alam negeri yang melimpah ruah tapi diimbangi dengan banyaknya rakyat yang teraniaya kehidupan, , atau bahkan gossip murahan para penghibur di negeri ini.
***
Beberapa hari ini aku tak bisa tidur nyenyak. Kudengar dari beberapa penjaga permaisuri Lastri akan dipinang oleh salah seorang penjaga istana. Aku sama sekali tak bisa menerima kenyataan ini. Sejujurnya aku sudah tahu jati diri lelaki itu.Dialah penjaga yang biasanya mengomeliku.
“Awas. Sekali saja kau berani menyentuh permaisuriku, aku pasti akan menikammu. Pisau yang sudah kusimpan bertahun ini pastilah sanggup mengirimmu ke alam baka”, ujarku dalam hati.
Detik jam sudah mulai agak kelelahan. Sudah seharian ia terus berputar tanpa kenal lelah. Sekarang ia menunjuk arah empat lebih sepuluh. Permaisuri terlambat sepuluh menit. Seharusnya ia sudah datang pukul empat tepat guna mnyuguhkan makanan padaku.
Ku dengar langkah kaki menuju kamarku. Itu pastilah permaisuri. Ku coba menengoknya keluar pintu kamarku. Para penjaga lupa mengunci pintu hari ini. Tapi tunggu dulu. Dengan siapa ia bergandengan mesra. Kampret! Berani-beraninya penjaga coro seperti dia menggandeng tangan permaisuriku.
Aku naik pitam. Ku coba mengambil pisau kebanggaanku, yang selama ini aku sembunyikan di bawah tikar dimana aku biasa membebaskan jiwaku dari dunia yang sumpek ini.
“B*ngs*t kau penjaga..!!!”, aku berteriak lantang.
Sambil berlari aku mengacungkan pisauku. Hendak ku habisi saja coro itu. Ketika semua orang berteriak takut, aku malah semakin bangga dan bertambah semangat. Kudorong tubuh penjaga berbaju putih itu. Dan ia pun jatuh terjengkal di lantai.
Tanpa membuang waktu, aku langsung berdiri diatasnya. Kuinjakkan kakiku tepat diatas perutnya. Sambil tertawa terbahak, kuangkat tinggi-tinggi pisauku. Sementara permaisuri Lastri hanya bisa berteriak histeris.
“Permaisuri, lihatlah akan kubunuh orang yang berani merebutmu dariku”
Tiba-tiba saja empat tangan kekar menggapitku erat. Aku sama sekali tak bisa bergerak. Untuk pertama kalinya pisau kebanggaanku itu terjatuh bebas ke lantai seolah tak mau menuruti keinginanku Dan seketika itu pula ada sebuah tangan yang menyuntikkan cairan kuning kedalam diriku. Menebus kulit ariku dan pertahanan tubuhku. Dan aku pun tak sadarkan diri.
“Dok…dokter…. Anda tidak apa-apa”, Lastri bertanya dengan nada ketakutan sambil mengulurkan tangannya kepada lelaki yang terjatuh di lantai.
“Inilah tugas kita Lastri. Di RSJ ini kita memang dituntut untuk sabar dan berani. Sebagai suster baru kamu juga harus bisa berani dan sabar. Pasien barusan itu memang cukup berbahaya” ungkap dokter itu
“Memangnya ada masalah apa dengan pasien itu dok?” lanjut Lastri
“Ia shock dan menjadi gila setelah membunuh istrinya. Sebenarnya cuma karena hal sepele. Ia bertengkar hebat dengan istrinya karena masalah hutang yang melilit kelurganya”.
Dan suasanapun hening sejenak, tapi tak lama kembali gaduh. Ada yang tertawa riang, ada yang menangis, ada yang sok pidato mengumbar janji, bahkan ada pula yang karena merasa tidak puas, berlarian kesana kemari menendang apa saja yang ada di hadapannya. Macam-macam. Karena tempat itu memang tempat khusus bagi mereka yang merasa belum tersalurkan hasratnya.

Tidak ada komentar: