...

Label

Kamis, 10 Januari 2008

Database Para Sastrawan Indonesia

Abd. Wahid B.S. Warung Boto UH IV/ 814 RT 30/ RW 07 Yogyaklarta 55164 Telp. (0274) 377901
Abd. Hadi W.M. Silamahkota Pesona Blok D-2 no.7 Jati Asih Bojong Kulur Gunung Puteri Bogor 16969 Telp (kantor). 83793505 Telp. (Rumah) 82408066
Ahmadun Y. Herfanda 0818752948
Prof. DR. Ayatroehaedi Jl. Kalimantan No. 139 Depok Utara Telp. 7778024
Arie MP. Tamba Jl. Kusuma Selatan B Blok E 10 No. 10 Wisma Jaya Bekasi Timur
Aristides Katoppo Jl. Bonang 15 Jakarta Pusat Telp. 331222
Arief Budiman UKSW Jl. Diponegoro No. 54—58 Salatiga Jateng
A.Teeuw Rijksuniversiteit Faculteit der Letteren postbus 9515 2300 RA Leiden
Acep Zamzam Noor Po. Box 3 Singaparna Tasikmalaya 46401
Arswendo Atmowiloto Majalah Fantasi Gedung Subentra Bank Lantai 5 jl. Gatot Soebroto kav. 21 Jkt 12930 Telp. (021) 7364742
Agus Noor Nitiprayan 137 Yogyakarta 55182 Telp. 415175
Afrizal Malna Jl. Bambu No. 83 Kreo/ Cileduk Jkt 15156Telp. 7305038
Prof. Dr. Anton M. Mulyono PPPB Jl. Daksinapati Barat IV Jakarta 13220 Telp. 4896558, 4894564
Ahmad Tohari Tunggal Jaya I/4 Jatilanang Purwokerto 53174
Ajib Rosidi Jl. Rawa Bambu No. 38 Kompleks Batan Pasar Minggu Jaksel telp. 7802029
Bahana (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunai) Kementrian Kebudayaan Belia & sukan Bandar Seri Begawan 2064 negara Brunai Darussalam
Prof. Dr. Ben anderson Indonesia Cornel University 102 West Avenew Itacha New York 14856 Telp. 601/256-4359
Dewan sastera bahagian majalah Dewan Bahasa dan Pustaka 10803, 50926 Kuala Lumpur Telp. 03-2481011, 03-2488675, 03-2414402
Harry Aveling School of Asia Studies Faculty of Humanies La Trobe Universitry of Bundora Victoria 3083 Australia Telp. (03) 4797213
Jacob Sumardjo Pasir Layang X-1 Padasula Bandung 40192
N. Riantiarno Jl. Cempaka Raya No. 15 Bintaro Jaya Jaksel telp. 7350460
Perpustakaan Nasional Depsikbud Jl. Salemba Raya 28 Kotak pos 3624 telp. 3101411, 3101472, Jakarta 10002
Permadi S.H. Jl. Kayu Putih Timur 49 Blok H-IV Jakarta Telp. 48081
Pamusuk Eneste Jl. Palmerah Selatan 28-Lt IV Telp. 543008
Ratna Sarumpaet Jl. Kampung Melayu Kecil V/24 Tebet Jakarta 12840 Telp. (021) 8291651
Pusat Kebudayaan Jepang Lt 3 Sumit Mas R Jl. Jendral Sudirman Kav. 61-64 Jakarta 12190 Telp. 5201266
Toety Herati Jl. Cemara 6 Menteng Jakpus
Taufik Ismail Jl. Utan Kayu No. 66 E Jaktim Telp. 8504959 (Horison: 4759560)
Titis Basino Jl. Kuningan Barat No. 59 Mampang Jakarta Selatan Telp. 5250031
Rosihan Anwar Jl. Surabaya No. 13 Jakpus Telp. 337522 (Kantor: 353131/ 345365)
Ratna Indraswari Ibrahim Jl. Diponegoro 3 Malang 65111 Telp. (0341) 362805
Radhar Panca Dahana Jl. Mukhtaruddin 20 B Kompl. PU— Pasar Jumat Jakarta 12310
Seno Gumira Adjidarma Majalah Jakarta Jakarta Jl. Palmerah selatan No.3 Jakarta 10270 HP. 0811823820 Telp. (rumah) 7313934
Sori Siregar Jl. Mertilang XII Blok KB-6 No. 5 Bintaro Jaya sektor 9/ PT Tren Media Sabang Metropolitan Room 207 Jl. H. Agus Salim No. 11 Jakarta Telp. 357621-5/ 354030-5
Soni Farid Maulana Jl. RAA. Wirataningrat no. 15 Tasikmalaya 460112
Sitok Srengenge Pesona Depok Estate AR. 9 Jl. Marganda Raya Depok 16431 Telp. 7707129, HP. 081 29945994
Sutardji Calzoum Bachri Jl. Felecia 11/31 Jatibening II Bekasi
Slamet Sukirnanto Jl. Tirtasari No.11 RT 006/03 Utan Kayu Selatan Jaktim 13120 Telp. 8570141
Syubah Asa Jl. Durian 11 No.34 Depok Jaya Depok Telp.7520629
Salim Said Jl. Redaksi Blok J No. 149 Komp. PWI Cipinang Muara Jaktim Telp. 8196757
Siti Zainon Ismail Universitas Kebangsaan Malaysia Bagian selangor
Samad Said 10 Jl. 5515/5C Subang Jaya Selangor Malaysia Telp. 7338219
Suripan Sadi Hutomo Jl. Bendulmrisi Gg. besar selatan 51 B Surabaya 60239 Telp. 812068
Saini KM. Komp. Wartawan II/38 Cijagra Jl. Buah Batu Bandung
Tommy F. Awuy Jl. Gg Tambak no. 84 Cikini Jakarta Pusat Telp. 330358 HP. 0818937820
T. Mulya Lubis LBH Jakarta Jl. Diponegoro 74 Jakarta Pusat
Umar Junus Jabatan Pengajian Melayu Universitas Malaysia Kuala Lumpur Malaysia
Wisran Hadi Jl. Belangur Blok H 2 Wisma Indah II Padang Sumatera Barat

Rabu, 09 Januari 2008

SANG PANGERAN

“Sudah kukatakan aku bukan pangeran yang kalian cari!”
“Kalian pasti salah orang!”
“Aku cuma rakyat jelata yang sama sekali tak punya garis keturunan ningrat di darahku”
Kampret!. Sudah beberapa bulan ini aku ditawan.
“Tuan, ini makanan anda”. Seorang gadis berpakaian serba putih coba menawarkan kelezatan makanan duniawi kepadaku.
“Hai permaisuri, mau sampai kapan lagi sang raja hendak menawanku?”
“Saya tidak tahu tuan” jawab gadis itu dengan santun seraya meletakkan secangkir kopi panas dan sepiring nasi lengkap dengan lauk ikan bakar di hadapanku.
“Kalau benar aku putra mahkotanya, seharusnya sang raja membiarkanku bebas berkeliaran di kerajaan ini”, aku coba mencari jawaban atas kegelisahan yang belakangan ini membelengguku.
Gadis itu hanya terdiam. Tapi tak lama, senyum simpul mengembang di bibir tipisnya yang menambah ayu parasnya. Aku sama sekali tak mengerti apa yang dipikirkannya saat ini. Yang kutahu, aku sudah amat sangat merasa bosan dengan keadaanku sekarang ini.
“Hai permaisuri siapa namamu?”
“Saya Lastri Tuan”
“Sudah jangan sungkan padaku. Panggil saja aku Adi”
“Baik tuan Adi. Eh…Adi maksud saya”
“Nah, begitu kan lebih enak kedengarannya Lastri” aku coba sok akrab dengannya. Dan gadis itu tiba-tiba saja nyelonong pergi.
Aku tak tahu secara pasti sudah berapa lama aku terpuruk di kerajaan ini. Sebagai seorang yang mereka anggap pangeran, seharusnya aku punya kuasa untuk pergi kemana saja yang kumau, merasakan kenikmatan surgawi, dan bebas melakukan segala hal yang kukehendaki.
Tapi nyatanya tidak. Aku terkurung. Kuhabiskan seluruh hari-hariku di kamar pengap ini, kamar 3 x 4 dengan hiasan lumut-lumut dosa para penguasa, lengkap dengan bau anyir kehidupan para rakyat jelata. Kamar yang lebih layak dikata kandang daripada kamar seorang pangeran. Hal itu diperparah dengan para penjaga yang kasar dan sama sekali tak membiarkan ragaku bebas sekedar untuk menapak sejengkal tanah diluar kandang ini. Cuma dari jendela berbalut besi tua yang berjejer rapat di pojok tembok itu lah aku sedikit bisa merasakan kebebasan. Ya, anganku bebas berkeliaran kemanapun yang kumau lewat jendela berteralis besi itu. Tak lain karena ketidak sanggupan mereka mengurung imajinasiku. Tapi andai mereka sanggup, pastilah akan segera mereka lakukan.
Kalau benar sang raja menyayangiku maka seharusnyalah ia menemuiku. Apa salahku. Jika aku memang putranya lalu kenapa ia sama sekali tak pernah mau menampakkan batang hidungnya di depanku.
“Pengecut”, batinku.
Ataukah ia takut karena mungkin aku adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan ibuku?. Ah…tak tahulah aku.
Semua menjadi serba samar saat kau meninggalkanku Sri. Andai saja kau tak meninggalkanku dan pergi dengan pangeran dari negeri seberang, pastilah kita hidup bahagia kini, Sri. Dan aku tak perlu berada di tempat memuakkan seperti ini.
Aku tak peduli walaupun hidup saat ini seolah mencekik leher kita.Dan meskipun hidup ini selalu kita isi dengan berlari dari si penagih hutang, aku tetap akan menyayangimu Sri. Satu-satunya yang terpenting bagiku ialah aku dapat bersamamu. Kalau masalah anak, jika Tuhan sudah mempercayakannya pastilah kita segera diberi.
Tapi satu hal yang kusesalkan, Sri. Kenapa sifat kurang sabarmu masih kau bawa hingga kita naik kepelaminan.
Kau bilang akan selalu setia padaku. Tapi kenapa kau menghianatiku.
Kau bilang akan selalu menemaniku. Tapi kenapa kau tega meninggalkanku.
Kau bilang bla bla bla. Dan tak peduli lagi aku. Aku muak Sri dengan semua janji dan omong kosongmu.
Kini aku akan menjalani kehidupanku yang baru. Yang lebih baik tentunya. Apa kau kira aku sedang bermimpi disiang bolong?. Salah besar jika kau berpikir demikian. Kini aku dianggap seorang pangeran, Sri. Aku sama sekali tak tahu apa mereka sudah gila karena menganggapku sang pangeran.
Ayahku yang sebenarnya saja cuma seorang pemulung, begitu juga ibuku. Dunia memang sudah edan. Tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah?. Salah kaprah mungkin. Ya tepat sekali dunia sekarang ini memang sudah salah kaprah lan ndeladah.
Sudah tidak ada lagi keadilan yang ada hanya suapan. Sudah tidak ada lagi kebenaran yang ada hanya kemunafikan. Ini zaman matrealistis. Semua orang sudah buta akan harta, buta akan kuasa. Sudah tak ada lagi orang yang peduli akan tata krama , tolong menolong.dan sopan santun.
Hah… sopan santun. Aku agaknya tertarik dengan kata yang terakhir ini. Bagaimana tidak. Kemarin saja ketika aku memerintahkan salah seorang penjaga untuk mengambilkanku minum, dengan wajah tanpa dosa, ia malah membentakku. “Lho aku kan pangeran. Kok lancang sekali kau laku demikian!” Bentakku.
Aneh. Mungkin kerajaan ini sudah gila. Sekali lagi. Bagaimana tidak. Sang raja yang memaksaku jadi pangeran dan mengurungku di istana sama sekali tak mempedulikanku. Semua penjaga acuh kepadaku. Apa enaknya tinggal disini. Lebih enak bebas di luar. Tapi tidak juga. Mungkin aku akan mati kelaparan jika hidup di luar. Disini aku tinggal tidur tanpa harus membebani diriku dengan pekerjaan yang membuat otot seolah tercongkel keluar serta memecahkan urat nadi dan pastinya aku akan diberikan jatah pengganjal perut setiap hari.
Kurang apa aku. Ya… tentu saja kurang kebebasan. Namun apalah arti kebebasan kalau kita mandul dalam segala hal. Tak bisa apa-apa. Hanya bisa membuat sumpek dunia saja. Akan lebih bermanfaat memang jika para orang mandul tidak menampakkan diri pada dunia.
Sri.. Sri… apa kau tak kangen padaku. Tapi sorry Sri. Aku bukanlah lelaki murahan yang mau memaafkan wanita yang sudah menghianatiku. Kini aku sudah menemukan sosok penggantimu Sri. Tentu saja ia lebih cantik dan lebih sabar dari kau. Aku biasa memanggilnya permaisuri. Nama aslinya Lastri. Ayahandaku sang raja pastilah akan mengijinkanku mempersuntingnya. Memangnya siapa yang berani menolak titah raja, sang penguasa setiap jengkal tanah, air, bahkan udara di negeri ini.
Itulah satu-satunya kesibukan yang bisa aku lakukan di tempat ini. Berbicara dengan diri sendiri.
Terus terang saja selama disini aku cuma merindukan pagi dan sore hari. Tak lain karena saat itulah permaisuri Lastri biasa menyuguhkan makanan padaku. Sesekali kami juga sempat ngobrol panjang lebar. Tentang apa saja, sosok raja yang penuh wibawa, para pejabat kerajaan yang hanya mementingkan perut mereka sendiri, kekayaan alam negeri yang melimpah ruah tapi diimbangi dengan banyaknya rakyat yang teraniaya kehidupan, , atau bahkan gossip murahan para penghibur di negeri ini.
***
Beberapa hari ini aku tak bisa tidur nyenyak. Kudengar dari beberapa penjaga permaisuri Lastri akan dipinang oleh salah seorang penjaga istana. Aku sama sekali tak bisa menerima kenyataan ini. Sejujurnya aku sudah tahu jati diri lelaki itu.Dialah penjaga yang biasanya mengomeliku.
“Awas. Sekali saja kau berani menyentuh permaisuriku, aku pasti akan menikammu. Pisau yang sudah kusimpan bertahun ini pastilah sanggup mengirimmu ke alam baka”, ujarku dalam hati.
Detik jam sudah mulai agak kelelahan. Sudah seharian ia terus berputar tanpa kenal lelah. Sekarang ia menunjuk arah empat lebih sepuluh. Permaisuri terlambat sepuluh menit. Seharusnya ia sudah datang pukul empat tepat guna mnyuguhkan makanan padaku.
Ku dengar langkah kaki menuju kamarku. Itu pastilah permaisuri. Ku coba menengoknya keluar pintu kamarku. Para penjaga lupa mengunci pintu hari ini. Tapi tunggu dulu. Dengan siapa ia bergandengan mesra. Kampret! Berani-beraninya penjaga coro seperti dia menggandeng tangan permaisuriku.
Aku naik pitam. Ku coba mengambil pisau kebanggaanku, yang selama ini aku sembunyikan di bawah tikar dimana aku biasa membebaskan jiwaku dari dunia yang sumpek ini.
“B*ngs*t kau penjaga..!!!”, aku berteriak lantang.
Sambil berlari aku mengacungkan pisauku. Hendak ku habisi saja coro itu. Ketika semua orang berteriak takut, aku malah semakin bangga dan bertambah semangat. Kudorong tubuh penjaga berbaju putih itu. Dan ia pun jatuh terjengkal di lantai.
Tanpa membuang waktu, aku langsung berdiri diatasnya. Kuinjakkan kakiku tepat diatas perutnya. Sambil tertawa terbahak, kuangkat tinggi-tinggi pisauku. Sementara permaisuri Lastri hanya bisa berteriak histeris.
“Permaisuri, lihatlah akan kubunuh orang yang berani merebutmu dariku”
Tiba-tiba saja empat tangan kekar menggapitku erat. Aku sama sekali tak bisa bergerak. Untuk pertama kalinya pisau kebanggaanku itu terjatuh bebas ke lantai seolah tak mau menuruti keinginanku Dan seketika itu pula ada sebuah tangan yang menyuntikkan cairan kuning kedalam diriku. Menebus kulit ariku dan pertahanan tubuhku. Dan aku pun tak sadarkan diri.
“Dok…dokter…. Anda tidak apa-apa”, Lastri bertanya dengan nada ketakutan sambil mengulurkan tangannya kepada lelaki yang terjatuh di lantai.
“Inilah tugas kita Lastri. Di RSJ ini kita memang dituntut untuk sabar dan berani. Sebagai suster baru kamu juga harus bisa berani dan sabar. Pasien barusan itu memang cukup berbahaya” ungkap dokter itu
“Memangnya ada masalah apa dengan pasien itu dok?” lanjut Lastri
“Ia shock dan menjadi gila setelah membunuh istrinya. Sebenarnya cuma karena hal sepele. Ia bertengkar hebat dengan istrinya karena masalah hutang yang melilit kelurganya”.
Dan suasanapun hening sejenak, tapi tak lama kembali gaduh. Ada yang tertawa riang, ada yang menangis, ada yang sok pidato mengumbar janji, bahkan ada pula yang karena merasa tidak puas, berlarian kesana kemari menendang apa saja yang ada di hadapannya. Macam-macam. Karena tempat itu memang tempat khusus bagi mereka yang merasa belum tersalurkan hasratnya.

ANAKKU SAYANG, ORANG TUAKU MALANG

Sudah lebih dari tiga tahun aku tak pulang kekampung halamanku. Memang itulah resiko yang harus aku tempuh jika sudah menjadi anggota TNI. Siap dibuang kemana saja dan kapan saja. Sudut-sudut kampungku rupanya telah berubah drastis. Aku hampir saja tak mengenalinya. Hari pertama di kampung memang sudah kurencanakan untuk putar-putar dan melihat pemandangan alamnya. Semua rumah sudah tampak megah sekarang. Tak seperti dulu. Semua rumah reot, cuma ada satu rumah yang tampak mewah. rumah Pak Kades. Siapa lagi kalau bukan dia. Orang paling tersohor di kampung.
Lama juga aku tak melihat rumahnya. Segera kukayuh sepeda tuaku kearah rumah Pak Kades.
“Masih seperti dulu”batinku. Tak ada yang mau merenovasi. Rumah itu masih tampak kotor dan lusuh. Tak ada warga yang berani membersihkan dan memindahkan puing-puing rumah itu. Pikiranku menerawang. Anganku membawaku menyusuri ruang masa lalu.
Saat itu aku baru berumur tujuh tahun. Seperti layaknya anak-anak seumuranku, aku dan teman-temanku biasa menghabiskan waktu kami untuk bermain. Kami mempunyai tempat favorit untuk bermain. Di bawah pohon mangga dekat lapangan sepak bolalah kami biasanya melakukan berbagai macam permainan. Mualai dari lompat tali, tangkap kejar, main gundu, layang-layang, bahkan bermain sepeda ontel tua milik ayahku.
“Min! lekas pulang!” teriak Pak Mi’un . Dia adalah kepala desa kami, termasuk orang terkaya dan paling terpandang di desa kami.
“Tapi Pak, Amin kan baru sebentar mainnya” rengek Amin.
“Kalau main terus besok gede kamu mau jadi apa. Sana lekas pulang dan belajar”
Kasihan Amin, padahal baru kali ini ia bisa ikut bermain tapi sudah disuruh pulang orang tuanya. Memang begitulah sifat Pak Kades. Ia memang tidak pernah suka dengan anak-anak yang menghabiskan waktunya untuk bermain. Itu cuma memubadzirkan waktu, katanya.
Sebagai akibatnya, anaknyalah yang jadi korban. Amin memang anak satu-satunya pak Kades. Jadi Aminlah yang jadi korban hasrat orangtuanya yang berlebihan. Pak Kades termasuk Bu Kades ingin agar anaknya suatu saat bisa menjadi dokter. Tentu saja dengan harapan kelak masa depan anak sekaligus mereka bisa terjamin.
Aku adalah teman karib Amin. Ia kerap kali mengeluh tentang orang tuanya, lalu dilanjutkan dengan menangis di hadapanku. Katanya orang tuanya terlalu menekannya. Ia sama sekali tidak betah dirumah. Tapi untungnya Amin adalah anak yang baik dan penurut. Ia sama sekali tidak pernah membantah perintah orang tuanya.
Terkadang aku juga sempat menitikkan air mata jika memikirkan nasib Amin. Ia adalah anak yang polos. Dalam hal pelajaran ia biasa-biasa saja. Dan kalau boleh jujur sebenarnya ia termasuk anak yang kurang pintar. Tiap kali ia mendapatkan nilai jelek pada kertas ulangannya. Pasti ia akan menangis karena takut kalau akan diomeli orang tuanya. Sempat beberapa kali aku menukar kertas ulangannya dengan kertasku. Tulisanku hampir mirip dengan tulisan Amin. Dan nilaikupun biasanya lebih bagus darinya. Dan nyatanya berhasil. Orang tua Amin akhirnya bisa juga tertipu. Ia tak jadi dimarahi dan biasa setelah itu ia mentraktirku dua buah bakwan.
Tapi itu kalau kertas ulangan. Sebaik apapun kami tutupi toh nyatanya saat penerimaan raport hal itu akan terungkap.
Setelah lulus SD kami berpisah. Ia masuk di SMP 3, tempat anak-anak orang kaya biasa bersekolah. Sedangkan aku masuk SMP 10, sebuah sekolah yang biasa dimasuki anak-anak dari ekonomi menengah kebawah. Meski begitu ia tak lupa dengan kebiasaannya mentraktirku. Sebulan sekali biasanya kami jalan-jalan kekota, sekedar menghilangkan penat masing-masing dan saling bersendau gurau.
Setelah lulus SMP ia diperintah ayahnya untuk melanjutkan SMA di Jogja. Katanya supaya bisa terbiasa dengan suasana Jogja. Maklumlah, rencananya sehabis lulus SMA Amin akan langsung di masukkan kesalah satu Univeritas terkemuka jurusan kedokteran yang ada di Jogja.
Aku sendiri menghabiskan SMA ku di kotaku sendiri dan meneruskan ke salah satu perguruan tinggi di Jogja. Tapi tentu saja perguruan tinggi yang termurah. Bukannya aku mau sok kuliah di Jogja, tapi hal itu tiada lain karena di kotaku memang belum ada perguruan tinggi.
***
Amin kini sudah masuk di Universitas yang dikehendaki ayahnya. Tapi dikarenakan kemampuan intelejen Amin yang pas-pasan maka tak ayal lagi ayahnya harus merogoh kocek lebih dalam. Pak Mi’un sudah tidak jadi kades lagi saat ini. Ia sudah tak berminat lagi jadi kades. Karena menurutnya masa depan cerah sudah ada di depan mata. Jadi uang yang sedianya ia gunakan untuk memenangkan dirinya dalam pemilihan kades, ia alihkan untuk membiayai seluruh keperluan anaknya. Bahkan beberapa hektar tanahnya juga ia putuskan untuk di jual demi pendidikan anaknnya.
Kini pak M’iun Cuma seorang petani. Dari hasil tani itulah ia mencukupi segala kebutuhannya. Ia bukan lagi orang yang terpandang di kampung. Ia cuma seorang petani biasa yang punya hasrat setinggi langit. Bukannya punya cita-cita itu jelek. Tapi kalau sudah keterlaluan kan tidak baik.
Saat menginjak kuliah aku memang sangat jarang sekali bertemu dengan Amin. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Tetapi menurut berita yang kudengar ia masih saja seperti dulu. Nilainya pas-pasan dan bahkan cenderung buruk.
Pernah satu kali kami janjian bertemu di salah satu warung di malioboro. Ia bukan lagi Amin yang seperti dulu. Walaupun merasa tersiksa, tapi dahulu ia msih sempat tertawa riang jika bersamaku. Kini ia jadi pendiam. Aku sama sekali kehabiasan bahan omongan untuk aku biacarakan kepadanya. Karena ia hanya sedikit menaggapi omonganku.Dan itupun dengan nada yang sangat dingin.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Kini tiba hari diamana aku akan mengakhiri masa belajarku di Perguruan Tinggi. Aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Orang tuaku cukup bangga dengan hal itu. Kami pulang bersama kekampung dengan seluruh barang bawaanku selama aku tinggal di kos.
Orang pertama yang menyambutku dirumah bukanlah tetangga dekatku. Melainkan pak Mi’un. Bukan hendak memberikan selamat, tapi ia justru ingin tahu kabar anaknya yang ada di Jogya. Karena sudah lama Amin tidak kasih kabar.
“Gimana kabar Amin?”
“Kapan Wisudanya?”
“Nilainya bagus tidak?”
Aku bingung harus menjawab apa. Tak ayal aku terpaksa harus sedikit berbohong. Dua bulan kemudian aku melamar menjadi anggota TNI. Untuk latihan pertama aku harus pergi selama lima bulan.
Ketika aku pulang, ternyata ada hal yang sangat memilukan yang terjadi didesaku. Selepas kepergianku Amin pulang kekampung. Ia mengaku tak mampu lagi melanjutkan studynya. Ia merasa sangat tertekan karena semua teman satu angkatannya sudah diwisuda. Pak Mi’un tentu saja yang paling terpukul. Tapi bukan itu yang membuat warga kampung geger.
Tak lama berselang, Amin terjangkit penyakit kejiwaan dan menjadi gila. Dan pada suatu malam, tanpa sepengetahuan orang tuanya ia membakar semua yang ia miliki. Rumah, Orang tua dan nyawanya sendiri.
Hari sudah menjelang senja. Aku harus segera pulang karena orang tuaku pasti akan kebingungan mencariku. Segera kukayuh sepeda tuaku untuk pulang ke rumah. Dalam perjalan itu kulewati pohon mangga tempat kenangan kami yang kini sudah kering di makan masa.